Wednesday 30 January 2019

Ekspektasi VS Realita Pernikahan

Pernah punya impian selangit tentang pernikahan dan kehidupan setelahnya? Bermimpi dapat pasangan ideal nan sempurna, mesra dengan pasangan sepanjang waktu, punya anak-anak pintar lagi menggemaskan, dan sekian mimpi lain yang indah. Setelah menikah, berapa poin impian yang terwujud? Lalu gimana menyikapi impian yang jauh dari harapan?

Saya termasuk yang punya impian tentang pernikahan dan kehidupan rumah tangga, ternyata suami pun punya impian yang serupa. Tapi hanya sebagian yang bisa kami wujudkan, minimal sampai menjelang tahun kelima pernikahan kami. Selebihnya, kami sadar bahwa perjuangan masih panjang!



#1

Ekspektasi:
Suami dapat pasangan yang lebih muda dan menikah sebelum usia 26 tahun
Saya dapat pasangan yang lebih tua (beda usia 1-5 tahun)
Realita: Alhamdulillah tercapai semua

Poin ini Alhamdulillah Allah jawab doa kami dengan sangat indah. Setelah pengalaman dengan 'pasangan' masing-masing sebelumnya, Allah pertemukan saya dan suami yang pas beda usia 1 tahun. Ia (ternyata) adalah senior saya sejak SMP sampai kuliah, tapi saya baru tau setelah kami kenal menjelang wisuda. Hahay. Waktu menikah saya usia 24 tahun dan suami 25 tahun.

No word can describe this except hamdallah :)


#2

Ekspektasi: tinggal terpisah dari orang tua
Realita: masih tinggal bersama orang tua dan mertua

Dulu sewaktu gadis bertekad banget setelah menikah mau langsung 'misah' dari tempat orang tua, meskipun cuma ngontrak. Skenario saya dulu, sebelum menikah saya akan cari kontrakan jadi setelah walimah bisa langsung cuss. Nyatanya karena satu hal saya memutuskan untuk stay bersama orang tua saya. Pada akhirnya saya dan suami memutuskan menyicil rumah, tapi masih ada halangan yang membuat kami belum bisa menempati rumah itu. Malah kami akhirnya pindah 'numpang' dengan orang tua suami.

Saya menyikapi dengan berpikir positif bahwa anggap aja ini sebuah rejeki kami bisa tinggal sangat berdekatan dengan orang tua, jadi bisa sering menjenguk merek dan membantunya langsung di kala mereka perlu bantuan.

Hikmahnya jadi punya kesempatan menabung karna kebutuhan rumah tangga bisa dibagi-bagi dengan mertua :)


#3

Ekspektasi: langsung punya anak, bisa jadi mamah muda
Realita: 5 tahun menikah masih berduaan aja

Bayangan saya dulu orang yang sudah menikah akan mudah punya anak, kayak otomatis aja gitu abis nikah ya langsung hamil dan melahirkan. Nyatanya tidak semua pasangan bisa merasakan rejeki tersebut, ada yang perlu melalui ujian dulu seperti kami.

Hikmahnya bisa lebih fokus sama pasangan dan orang tua. Allah takdirkan kami mematangkan diri dan ilmu dulu sebelum terjun ke dunia nyata jadi orangtua. Semoga kelak kami bisa lebih bersabar mendidik dan menghadapi anak karna terngiang akan perjuangan untuk mendapatkannya.


#4

Ekspektasi: selepas menikah langsung jadi full time ibu rumah tangga
Realita: masih bekerja, salah satunya karna belum ada 'tanggungan'

Setiap orang yang saya temui yaa responnya gitu, mau ngapain dirumah wong belum ada 'tanggungan' (baca: anak). Padahal impian saya dulu adalah jadi wanita pekerja hanya sampai menikah, selebihnya mau mengabdi buat keluarga sambil berkarya dari rumah. Tsaaahhh.

Hikmahnya saya masih dipaksa untuk bisa bersosialisasi. Karna saya tipe orang penyendiri, yang sulit beradaptasi dan lebih nyaman dalam keadaan sendiri. Saya membayangkan seandainya gak bekerja, mungkin saya akan semakin betah di dalam rumah aja; tanpa kawan di dunia nyata. Bisa jadi semakin ansos nanti saya :(

Kalau saya perhatikan, bekerja juga bisa jadi hiburan buat ibu rumah tangga. Ini murni pengamatan saya terhadap buibu guru di tempat saya mengajar. Di waktu kosongnya mengajar, ibu-ibu rumah tangga ini terutama yang punya balita bisa merebahkan kepala (meski hanya di meja kerja) serta melepas kantuk dan lelah. Mereka bilang, kalau di rumah boro-boro bisa selonjoran siang-siang. Yang ada setiap libur dan mereka ada di rumah, anak-anak selalu nempel dan kerjaan seakan gak ada habisnya. Liburan hanya judul, nyatanya riweuh sepanjang hari. Malah bosen katanya di rumah aja berteman cucian dan gosokan heheheheh.

Disitu saya bersyukur masih bisa berkarya di tempat kerja, sempat pula istirahat di rumah. Ya syukuri aja lah keadaan kini, sebelum sampai di tahap riweuh begitu suatu hari nanti.


#5

Ekspektasi: menunaikan umroh dengan pasangan
Realita: Alhamdulillah baru suami yang berangkat umroh

Biarlah suami duluan yang menunaikan umroh, semoga Allah izinkan ia kembali ke tanah suci dengan memboyong saya dan anak kami kelak. Aamiin.

Hikmahnya saya jadi bisa dengar pengalamannya dulu ketika umroh. Sambil bermimpi kalau suatu hari rejeki kami umroh bersama, suami jadi lebih siap membimbing saya disana :)

---

Well, sah-sah aja punya ekspektasi tentang kehidupan pernikahan, malah wajib yah biar ada panduan mau hidup yang kayak gimana nanti bersama pasangan. Tapi ya pernikahan kan bukan cuma cerita indah, jangan kaget kalau nanti ketemu lebih banyak tanjakan turunan yang bikin mual dibanding jalan lurus yang bikin ngantuk.

Deretan ekspektasi dan realita yang saya punya dan alami memberikan pelajaran bahwa ekspektasi menjaga kita untuk tetap on fire meraih mimpi; namun realita seringkali berbeda jauh sehingga kita akan belajar berlapang dada, berefleksi, sekaligus bijak dalam menemukan hikmah di balik kejutan-kejutan dalam hidup :)

Ekspektasi vs realita pernikahan versi kamu gimana?

2 comments:

  1. Tentang suami nggak ditulis, Mbak, eh pengen suami yang ini itu, ternyata, wkwkwkwkwk, bukan buka aib lho ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehe aslinya kepikiran Mbak, cuma ya itu khawatir kebablasan jadi buka aib :) :)
      Makasih atas kunjungannya Mbak

      Delete