Tuesday 27 December 2016

Review "The Professionals"

Salah satu rencana saya & suami mengisis liburan akhir tahun ini adalah nonton. Kami memang kerap menonton di bioskop, terutama untuk film-film yang sedang booming atau sudah lama kami tunggu. Pada liburan ini, suami menetapkan The Professionals sebagai film untuk kami tonton di bioskop. 

Awalnya, saya bersikap kurang antusias karna merasa film drama Indonesia masih kurang gregetnya dan cenderung mudah ditebak alurnya. Namun biasanya suami tidak sembarangan memilih, nah bila ia telah menentukan maka hampir selalu film yang dipilih benar-benar seru. Jadi saya coba untuk menikmati. Berikut saya paparkan sekilas jalan cerita & kesan saya terhadap film ini.

Diambil dari sini
The Professionals bercerita tentang teman dalam bisnis - Abi, Reza dan Nicole - yang membangun sebuah perusahaan bersama. Demi berkembangnya bisnis tersebut, Reza merugikan pihak-pihak yang bekejasama dengannya. Bahkan dengan sifat perfeksionis dan liciknya, Reza mengorbankan Abi demi kekuasaan dalam kerajaan bisnisnya hingga Abi mendekam di penjara.

Sekeluarnya dari penjara, Abi tidak tinggal diam. Walapun tidak lagi memiliki kuasa di perusahaan yang dibangunnya dan terkesan santai, ia ternyata penuh perhitungan dalam menyusun pembalasan bagi Reza. Dibantu orang-orang terpercaya yang juga dikecewakan oleh Reza, Abi menyusun dan menjalankan strateginya untuk menjatuhkan Reza dengan cara mengambil dongle yang dapat membuka seluruh rahasia Reza & perusahaan. Namun usaha Abi cs terbentur keamanan kantor Reza yang begitu ketat sehingga mereka kesulitan untuk menemukan dongle yang dibutuhkan. Dengan tekad kuat untuk membalaskan dendam pada Reza, Abi dan rekan-rekannya terus mencari cara untuk mendapat petunjuk tenang dongle itu.

Thursday 22 December 2016

Berburu Buku saat Sale

Di tengah kemajuan teknologi yang begitu pesat, buku mungkin terlupakan bagi sebagian orang. Akses pengetahuan dapat dengan mudah diperoleh melalui dunia maya, hanya dengan gerakan jari jemari di layar maka terbentanglah layar informasi dari beragam sumber. Namun bagi pecinta buku, kemudahan akses informasi melalui internet tidak akan menyurutkan minatnya untuk menimba ilmu melalui buku.

Hal ini tercermin saat saya mengunjungi sebuah mega big sale Gramedia di Bekasi beberapa waktu lalu. Momen big sale tersebut berhasil menyedot banyak pengunjung, dari anak-anak hingga orang dewasa. Event tersebut membuktikan bahwa kemajuan teknologi tidak membuat minat orang terhadap buku hilang begitu saja.  
Mega Big Sale
Well, saat awal saya tau tentang event tersebut, saya semangat bukan main. Awalnya niat saya hanya berburu buku-buku fiksi yang pada waktu lain punya harga yang cukup menguras kocek. Namun pada saat yang sama saya menyadari bahwa saya akan kesulitan menemukan buku-buku yang bagus dan 'sreg' di hati. Dalam bayangan, saya pasti akan berjibaku dengan tumpukan buku di keranjang-keranjang, yang tak jauh beda dengan sale-sale pakaian dsb itu, dan itu selalu membuang waktu yang cukup lama karena galau dengan buku yang akan dibeli. Daan benar saja, saya sampai dua kali balik ke tempat sale untuk memuaskan hasrat belanja buku (hahahaa). Maklum, emak modis (baca: modal diskon) macam saya pasti akan memanfaatkan sale sebaik-baiknya!

Tuesday 31 May 2016

Apa Enaknya Jadi Guru?

Menjadi seorang guru (ternyata) merupakan cita-cita pertama di masa kecil saya. Setelah sempat berubah cita-cita menjadi seorang dokter anak (karena saya menyukai anak-anak), akuntan (karena senang hitung-menghitung sekaligus terinspirasi sepupu yang menjadi seorang akuntan), serta ahli gizi, akhirnya saya kembali pada fitrah awal saya untuk meraih cita-cita menjadi seorang guru.

Tidak dipungkiri, cita-cita menjadi guru kembali terpatri kuat setelah mendapat nasehat Mama. Saat itu Mama memberi nasehat dan arahan saat saya akan menentukan jurusan di perguruan tinggi. Menurut Mama, menjadi guru adalah ladang pahala bagiku selain penghasilan yang bisa didapat. Bagi seorang wanita, guru akan menjadi pekerjaan yang tak begitu banyak menyita waktu, karena waktu bekerja lebih fleksibel dan luang sehingga urusan rumah tangga nantinya tak akan terbengkalai.

Gambar diambil dari sini
Alhamdulillah, segala proses menjadi seorang guru berhasil saya lalui. Rasanyaa luar biasa. Menjadi guru berarti menjadi contoh, panutan, teladan. Karena guru adalah orang yang digugu dan ditiru, saya dihadapkan pada lingkup pekerjaan yang selalu dinamis, yang mewajibkan sebuah pembelajaran sepanjang hayat. Dan ternyata, ada banyak keuntungan, banyak enaknya menjadi seorang guru, lho. Berikut ringkasan pengalaman saya selama menjadi seorang guru, hehe.

Secara private, saya memang pernah mengajar murid sekolah dasar hingga karyawan. Melalui kegiatan belajar itu, saya bisa mengenal lebih banyak orang, lebih tau berbagai karakter anak hingga orang dewasa, belajar bergaul dengan lebih luwes, juga mengunjungi tempat-tempat baru (khususnya saat saya mengajar karyawan dan sesekali menjadi interpreter). Nah, saat menjadi interpreter itu pula saya mendapat kesempatan untuk berbicara lebih intens dengan foreigners. Hehe, gaya dikit laahh, ngomongnya sama bule :D

Saat menjadi guru di sebuah institusi pendidikan, keuntungan yang sama juga Alhamdulillah bisa saya dapatkan. Secara materi, jenjang karir dan penghasilan sudah lebih dari cukup. Namun diluar itu, keuntungan moriil lain juga bisa didapatkan.

Tuesday 24 May 2016

Guru Kok Ngambek?

Ngambek biasanya diidentikkan dengan anak kecil, yang ditunjukkan dengan ekspresi diam, marah, atau menangis saat keadaan tidak sesuai dengan harapan. Itu sih definisi dari saya pribadi. Selain itu, "Ngambek sering diidentikkan dengan sifat kekanak-kanakan, karena hampir semua anak mengekspresikan rasa tidak senang atau emosinya dengan cara ngambek" (Ariyani Na, dalam Ada yang Suka Ngambek?). Nah kalau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan yang saya jumpai hanya kata dasarnya yaitu Ambek yang merujuk kepada kata Merajuk, artinya adalah (1). Menunjukkan rasa tidak senang (dengan mendiamkan, tidak mau bergaul). (2) bersungut-sungut atau mengomel. Intinya, ngambek merupakan luapan emosi terhadap hal yang tidak menyenangkan melalui berbagai ekspresi.
Nah... Apakah Anda pernah melihat seorang guru yang ngambek? Apa yang terlintas dalam benak Anda saat itu? Kalau saya sih langsung mikir, "Kok kayak anak kecil ya, begitu aja ngambek!"

Saya pernah menyaksikan guru yang kelihatan ngambek dengan kelas yang diajarnya, sehingga tidak masuk kelas dengan alasan antara lain: anaknya susah diatur, banyak bicara, tidak mau mengajar kelas tersebut, dsb. Alasan yang sebenarnya bisa dibantah. Pertama, anaknya susah diatur. Memang sudah jadi tugas guru untuk memanajemen kelas kan, jadi ya pasti ada yang salah pada guru ketika anak-anak sulit diatur. Kedua, anaknya banyak bicara. Kembali ke poin manajemen kelas, atau strategi guru untuk mengarahkan keaktifan anak dalam berbicara ke arah kreativitas yang lebih positif. Dan ketiga, tidak mau mengajar kelas tertentu. Yah ini kan soal amanah menjalankan tugas. Toh guru tidak punya wewenang untuk memilih di kelas mana dia akan mengajar, kan? Jadi ya guru harus siap ditempatkan mengajar di kelas manapun. Ceileeehh...gaya banget, padahal dalam hati saya juga sering terkesan mengecap kelas tertentu dengan 'enak' atau 'tidak enak', hehehe.

Sunday 10 January 2016

Kami dan Filosofi Bulu Tangkis

Tulisan ini agak berbeda dari yang sudah-sudah. Di sini saya akan lebih filosofis -halaaahh- tentang kehidupan rumah tangga kami -saya dan suami tentunya- dan olahraga bulu tangkis.

Alkisah....


Saya dan suami adalah tipe orang yang malas berolahraga. Kegiatan kami setiap hari cukup padat, saya pulang sore hari dan suami malam hari. Bahkan hari Sabtu pun kami masih harus masuk kerja. Sesampainya di rumah, saya akan sibuk dengan pekerjaan rumah, sedangkan suami lebih memilih bersantai dan beristirahat. Pagi hari selepas sholat Subuh pun kami asyik dengan kegiatan masing-masing sebelum berangkat ke tempat kerja. Rasanya kami tak sempat untuk olahraga, meski hanya berjalan santai atau jogging. 

Padahal seringkali saya menyampaikan keinginan agar (minimal) suami mau berjalan santai atau jogging setiap pagi agar ia bisa mendapat tubuh yang lebih sehat dan ideal. Ya, suami saya berbadan cukup besar, mayoritas waktunya digunakan untuk duduk, terutama saat bekerja. Sehingga tidak ada alokasi waktu khusus untuk membakar lemak, hehe. Sejujurnya saya ingin membersamainya berolahraga, namun pagi hari merupakan hectic hour buat saya menyiapkan berbagai keperluan untuk saya dan suami. Akhirnya, suami pun hanya mengiyakan, tanpa pernah melakukan saran saya.

Hingga suatu hari saya membulatkan tekad mengajaknya berolahraga di Ahad pagi. Ya, itulah waktu yang tepat untuk kami 'memaksakan diri' berolahraga. Setelah mendiskusikannya dengan suami, saya memutuskan memulai dengan bermain bulu tangkis. Kami sengaja memilih olahraga ringan yang bisa dilakukan dengan santai, namun sarat akan usaha untuk mendapat tubuh yang lebih sehat. Singkat cerita, pada akhir pekan itu kami berhasil mewujudkan mimpi untuk berolahraga, yakni bermain bulu tangkis. Yeay! Tidak lama memang, satu jam..sudah termasuk pemanasan, dan ketawa-ketiwi, hehe.

Filosofi itu adalah....


Selepas bermain bulu tangkis itulah, saya teringat akan permainan bulu tangkis saya dan suami. Dan muncullah filosofi permainan bulu tangkis dan hubungannya dengan rumah tangga.

Friday 1 January 2016

STORIES in 2015

Bismillah...

Tulisan ini akan saya awali dengan penyesalan yang mendalam atas ketidakkonsistenan saya dalam mengisi blog ini. Fiuhh, tulisan terakhir tertanda Agustus 2015. Artinya 6 bulan penuh saya tidak menorehkan sedikitpun cerita di sini. Maka hari ini, 1 Januari 2016 saya bertekad memunculkan kembali semangat membaca dan menulis, agar blog ini tak sekedar ditengok tanpa dijadikan tempat berkarya.

2015 bagiku...


Adalah tahun yang luar biasa. Banyak cerita suka dan duka dilalui di dalamnya, yah layaknya hidup yang selalu menampakkan dua sisinya. 

2015 adalah tahun pertama yang secara full saya lalui bersama suami, sebagai keluarga kecil yang berada diantara dua keluarga kami. Ya pada tahun ini kami masih mondar-mandir, dari tempat orangtuaku ke tempat orangtua suamiku. Begitulah yang kami jalani setiap pekan, setahun penuh. Dari sana terasa kebersamaan, kehangatan, cinta kasih dari keluarga kami yang bertambah banyak.


Mengawali tahun 2015 dengan wisata bersama keluarga besar Mama (Candi Prambanan, 2015)

2015 saya lalui bersama suami, waktu kami habiskan berdua, karena amanah dan rejeki berupa anak belum Allah berikan pada kami di tahun ini. Hikmahnya: kami masih bebas menghabiskan waktu berdua, belajar jadi suami & istri yang lebih baik, menjalankan kesenangan dan hobi, menabung untuk masa depan keluarga, menjadi lebih dekat dengan orangtua, dan membantu mereka sebisa kami.

2015, Maret. Menjadi waktu yang indah, genap setahun pernikahan kami. Bersyukur luar biasa karena kini kami sah dan halal sebagai suami istri. Namun daftar PR masih panjang, khususnya PR saya sebagai istri yang belum sepenuhnya bisa melayani suami. Do'a pun terus terlantun, agar Allah mempercayakan momongan pada kami. Alhamdulillah, banyak keluarga & sahabat yang turut mendoakan.

2015, Mei. Salah satu hajat besar sekolah dilaksanakan, Ujian Nasional. Sebagai ketua panitia saat itu, saya menanggung harapan banyak pihak agar ujian bisa terlaksana dengan lancar, dan siswa-siswi dapat kami antarkan ke sekolah yang menjadi tujuan mereka. Kekhawatiran akan pelaksanaan ujian mandiri pertama kali di sekolah kami tersebut membayangi saya, namun perlahan-lahan kebingungan dan ketidaktahuan kami dapat terurai satu persatu sehingga pada hari H pelaksanaan, segala yang dibutuhkan dapat kami siapkan, walau masih ada kekurangan di sana sini. Pengalaman mendampingi siswa untuk menginduk ujian nasional pada tahun sebelumnya menjadi bekal utama saya dalam mengatur pelaksanaan ujian di sekolah. Berminggu-minggu saya dan sekretaris lembur hingga larut untuk mempersiapkan administrasi kegiatan. Pun dengan bendahara yang pusing berkeliling-keliling mengatur anggaran yang luaarr biasa besarnya :)