Monday 25 June 2018

Serba-serbi UNBK

Dua bulan berlalu sejak pelaksanaan kegiatan Ujian Nasional Berbasis Komputer di SMPIT Islamia, sekolah tempat saya mengajar. Tapi baru beberapa hari lalu saya terdorong untuk menuliskan pengalaman kegiatan perdana tersebut di blog. Efek lihat blog kosong kayak kaleng kue sehabis lebaran, hehe. Terkejyut juga begitu sadar 5 bulan berlalu tanpa tulisan baru. Huuuaaa.

Tulisan ini bukan berisi teori, kebijakan, peraturan tentang UNBK secara formal ya. Ini hanya bentuk dokumentasi pengalaman saya terlibat dalam kegiatan tersebut. Sebagai pengingat juga bila tahun berikutnya menjadi bagian dari kepanitiaan lagi.

Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) merupakan moda utama ujian nasional yang dicanangkan pemerintah beberapa tahun belakangan. Dilaksanakan secara bertahap, mengingat fasilitas yang dibutuhkan untuk kegiatan ini tidaklah sedikit. Awal tahun ajaran lalu sekolah tempat saya mengajar belum memprioritaskan kegiatan ini, kami masih menyiapkan diri untuk ujian berbasis kertas dan pensil, sambil rencananya menyiapkan fasilitas secara bertahap. Namun kebijakan baru dinas pendidikan Kab. Bekasi pada awal tahun 2018 mendorong dengan sangat (a.k.a. mewajibkan) agar semua SMP sekabupaten Bekasi dapat melaksanaan UNBK.

Sontak sekolah-sekolah yang belum memiliki fasilitas pendukung kalang kabut. Apalagi sekolah negeri, yang siswanya ratusan untuk level kelas IX saja sedangkan dana untuk penyediaan fasilitas UNBK masih minim. Sebagai alternatif, SMP negeri yang belum bisa memenuhi fasilitas UNBK diarahkan untuk menginduk pada SMA/SMK yang dari tahun 2017 sudah wajib melaksanakan UNBK.

Kebingungan serta-merta melanda para kepala sekolah dan jajarannya, kehebohan mengisi grup-grup kepala sekolah atau rayon karena sesuatu yang baru ini. Sekolah kami termasuk yang agak kalang kabut melaksanakan perintah pak kadis ini. Namun Alhamdulillah...Allah mudahkan proses persiapan UNBK yang cukup singkat melalui bantuan para pengurus yayasan. Mulai dari pembelian komputer server, komputer client, pemasangan komputer, penginstalan program UNBK, peningkatan kualitas wifi, penyiapan ruangan, dan sebagainya.

Saturday 23 June 2018

Lebaran Kelima dengan Pertanyaan "Itu"

Syawal 1439 H adalah Idulfitri kelima saya bersama suami. 3 kali diantaranya, termasuk tahun ini, kami pulang ke kampung halaman suami, dan otomatis bertemu keluarga besarnya disana. Terbayang sudah jauh-jauh hari pertanyaan apa yang bakal saya (dan suami) dengar saat bersilaturahmi di Idulfitri.

Yap. "Sudah isi belum?" dan beragam pernyataan yang menyertainya. Hiks.

Sekian hari sebelum Idulfitri, berseliweran post berbagai macam pertanyaan 'horor' begitu di timeline. Mayoritas sih menyasar kaum jomblowan jomblowati, yang suka deg-degan ketemu keluarga atau sahabat khawatir ditodong pertanyaan berawalan "kapan", hehe. Tidak jarang di post tersebut dijembreng strategi menjawab dan menyikapi pertanyaan paling dihindari tersebut.

Tak terkecuali saya yang sudah ancang-ancang dengan satu pertanyaan horor nan menohok "sudah isi belum?". Sewaktu single saya malah jarang mendapat pertanyaan legendaris "kapan nikah?" dari sanak saudara. Ketika sudah menikahlah saya agak khawatir dengan berbagai pertanyaan dari tetangga, teman atau keluarga mengingat saya belum juga diberikan momongan. Bahkan kadang saya sensitif dengan momen kumpul keluarga, saking khawatirnya ditanya ini itu tentang kehamilan yang belum kunjung saya dapatkan :(

Akhirnya saya coba membaca pengalaman orang lain yang bernasib serupa; bagaimana perasaan, sikap dan jawaban mereka saat pertanyaan itu mampir di telinga. Beruntung seorang pejuang kehamilan panutanku, mba Devi (@devimsi_), membahas hal ini di ig feed nya, cusss lah saya ubek-ubek postingannya.

Kesimpulan dari sharingnya mba Devi, kita perlu menyiapkan benteng pertahanan untuk menghadapi situasi tidak menyenangkan karena pertanyaan "sudah isi belum?". Untuk apa? Agar diri ini tidak "luluh lantak dan merasa sedih yang berkepanjangan" akibat pertanyaan yang bikin gak enak hari tersebut. Karna sebenarnya para penanya tersebut tidak memahami posisi kita dan merasakan perjuangan kita yang jumpalitan untuk menjemput buah hati. Dalam pikirannya mereka mengira setelah nikah ya wayahnya langsung hamil, kalau lama menikah tapi belum kunjung hamil ya karna gak pengen hamil atau sengaja ditunda, de-el-el.