Sunday 5 August 2012

Dari Mereka Aku Belajar

Guru, sebuah profesi mulia. Lebih dari itu, menjadi guru adalah bentuk pengabdian seluruh jiwa. Bagaimana tidak? Guru layaknya sosok kedua setelah orang tua, yang membimbing dan mengarahkan manusia pada jalan kebaikan hingga memiliki bekal cukup bagi kelangsungan hidupnya kelak dan pengembangan dirinya bagi kemaslahatan umat.
Menjadi guru adalah cita-citaku. Sungguh. Cita-cita ini terpatri dalam hatiku paling dalam sejak di bangku Sekolah Dasar. Memang, cita-cita ini pun sempat berubah-ubah seiring bertambahnya usia, karena berbagai keinginan selangit yang kerap dimiliki seorang ‘anak kecil’. Saat beranjak dewasa, barulah keinginan kuat menjadi guru kembali muncul, karena teringat akan jasa dan mulianya tugas mereka.
Setahun sudah aku menjalani pengabdian ini. Masih belum ada apa-apanya, jika dibandingkan Bapak dan Ibu yang sudah belasan dan puluhan tahun mengabdi. Tetapi setidaknya, aku telah mendapatkan pengalaman, hikmah, dan kisah menarik khususnya bagi diriku sendiri, terutama saat bercengkrama dengan para siswa. Berikut ini di antaranya.

Perhatian Kecilmu, Bermakna Besar Bagiku

Saat itu aku mendapat tugas menjadi guru kelas 2 di sebuah SDIT. Karakteristik utama yang ku tangkap dari ‘anak-anak’ itu adalah betapa hausnya mereka akan perhatian. Bahkan yang menurut orang dewasa (sepertiku) sepele, ternyata mampu memberikan kesan mendalam bagi mereka.
Singkatnya, setiap hari aku membiasakan memberikan latihan bagi para siswa, sebagai bagian kegiatan konfirmasi untuk mengukur pemahaman siswa terhadap materi yang baru saja dipelajari, terutama saat menjelang ulangan.
Terkadang karena banyaknya tugas yang harus aku pikirkan sendiri (karena aku tak punya pendamping di kelas), latihan yang dikerjakan siswa hanya ku lihat sekilas. Tak disangka, mereka selalu merengek meminta latihannya dinilai. Ternyata, bukan sekedar besaran nilai yang mereka harapkan, tapi bentuk penghargaanku sebagai guru terhadap latihan yang telah mereka kerjakan. Dengan adanya nilai atau sekedar paraf dariku, mereka merasa sang guru telah menghargai dan memberi perhatian.
Hari terus berlalu. Dan setiap hari itu aku selalu berusaha menjadi lebih dekat dengan siswaku. Menyapa mereka dengan lembut, mendatangi meja-meja mereka, bertanya kesulitan mereka, memanggil nama mereka satu per satu, plus menggunakan kata ‘sayang’ untuk menunjukkan kasih sayang. Suatu hari di hari sebelum perpisahanku dengan para siswa, seorang wali murid bercerita panjang lebar tentang anak bungsunya –yang juga siswa di kelasku. Sebuah kalimat mengejutkanku. Sang Ibu berkata, “Bu, Krisna senang sekali dipanggil ‘sayang’ sama Ibu. Ia bilang sama saya dan minta saya untuk memanggil dia ‘sayang’ juga, seperti kalau Ibu memanggilnya di kelas. Dia memang suka diperlakukan lembut begitu Bu. Makanya dia senang dan ingat hal itu.”
Dalam hati aku terenyuh. Sebuah sapaan yang memang sengaja ku gunakan untuk memunculkan kedekatan dan menunjukkan perhatianku pada siswa-siswaku, ternyata bermakna lain bagi seorang siswa. Jelas aku tak pernah berpikir sejauh itu. Dan jelas aku merasa senang karenanya. Itu berarti usahaku ‘sedikit’ berhasil untuk menimbulkan rasa nyaman pada para siswaku.

Menjalin Silaturahmi Membuatmu Dicintai

Masih tentang pengalamanku dengan seorang siswa dari sekolah yang sama. Bedanya, kini aku tak lagi menjadi gurunya, bahkan tak lagi mengajar di sekolah tersebut. Artinya, aku telah pindah tempat mengajar, dan praktis tak pernah lagi bertatap muka dengannya.
Suatu hari seusai rapat mingguan bersama para guru, ponselku berdering. Sebuah nomor tak dikenal muncul di sana. Perlahan kuangkat panggilan tersebut. Ternyata Gadis, siswi terbaik di kelasku dulu.
Percakapan kami berlangsung cukup singkat, karena Ia khawatir mengganggu aktifitasku. Subhanallah, betapa pengertiannya anakku itu. Permbicaraan kami berkutat seputar kabarku dan kabarnya, berikut teman-temannya di sekolah yang masih ataupun sudah tidak sekelas; tentang keadaan di sekolahnya; atau malah tentang aktifitasku di sekolah baru.
Satu pelajaran yang sangat menyentuh hatiku adalah, keinginan tulusnya untuk menghubungiku, seorang yang pernah sebentar saja menjadi gurunya, serta menanyakan kabarku, dan memercayaiku untuk mendengar ceritanya seputar kegiatan di sekolahnya. Intinya, Ia –walau atas saran ibundanya– bersedia menjalin kembali silaturahmi denganku walau hanya sebentar dan tanpa bertatap muka sekalipun. Dan hal ini dilakukannya sebanyak tiga kali, tanpa pernah aku berkeinginan mendahului menghubunginya.
Kembali hatiku tersentuh selepas mengakhiri pembicaraan dengannya. Telepon Gadis membuatku merefleksi diri; bahwa seorang dewasa sepertiku, sering merasa malas, malu, dan masa bodoh terhadap teman-temanku yang lama tak ku jumpai, apalagi guru-guruku. Jarang sekali aku menyapa mereka, menanyakan kabarnya, kesibukannya, apalagi kesulitannya. Jangankan mengunjungi rumahnya, menelepon pun aku sering enggan.
Semenjak itu, aku berusaha menjalin komunikasi singkat dengan teman-teman lama atau saudara yang tinggal jauh dariku. Dampaknya, aku mendapatkan banyak cinta, perhatian, dan semangat karena dapat berbagi kembali dengan mereka yang aku sayangi.

Di Sisi Lain Kau Jauh Lebih Baik, Nak!

Kisah ini terjadi di sekolah baruku, sebuah SMPIT. Ya, para siswaku kini para remaja tanggung, yang cenderung labil. Namun, keceriaan mereka tetap membuatku iri, sekaligus mengingatkanku pada masa-masa indah sekolahku dulu.
Seorang siswa yang dikenal rajin beribadah sunnah namun memiliki hasil yang kurang baik dalam tes-tes kognitif, selalu menjadi sorotan utama sekolahku. Maklum, sekolah baru dengan siswa yang masih sangat sedikit membuatku dan rekan-rekan dapat mengawasi dan menasihati para siswa dengan leluasa. Terkadang aku dibuat pusing oleh tingkahnya yang terlampau dewasa dari usianya, tapi tak jarang aku senang akan semangat belajarnya saat ku mengajar sekaligus tersentuh dengan perkataannya. Seperti yang berikut.
Suatu hari aku merasa lelah, Ia melihatku berkali-kali menguap di siang hari. Kala itu aku tak dapat menahan rasa kantuk dan keinginan untuk menguap. Tiba-tiba Ia berujar, “Miss, tadi sholat Subuhnya kesiangan ya?” Aku kaget dan balik bertanya, “Memang kenapa?” Dia dengan enteng menjawab, “Kata Pak Mahmud, kalau nguap terus, tandanya sholat Subuhnya kesiangan.”
Aku tersenyum mendengar perkataannya. Tapi yang kurasa sebaliknya, merasa sedih dan prihatin terhadap diri sendiri yang masih lalai dalam menjalankan sholat. Ya, jujur kuakui terkadang aku tak mengerjakan sholat di awal waktu.
Kalimat siswiku tadi membuatku sungguh malu dalam hati. Aku lantas berpikir, bagaimana seandainya mereka tahu, sosok yang seharusnya diteladani ini malah melakukan kelalaian dalam ibadahnya. Ah, aku tak sanggup memikirkannya.

Renungan Bagimu, Guru

Kisahku di atas memang terlepas dari hiruk-pikuk kegiatan belajar mengajar yang berinti pada transfer dan pengembangan ilmu pengetahuan. Bukan juga tentang metode pembelajaran yang ku gunakan di kelas. Melalui kisah tersebut –yang bersetting di sekolah– aku yakin ada makna lain bagi pengembangan diri guru untuk lebih meningkatkan kualitas diri maupun pengajarannya.
Saat mengajar, tetaplah edarkan pandangan pada seluruh siswa, sebut nama mereka satu per satu, serta gunakan sapaan lembut yang mereka sukai. Dengan cara ini, diharapkan siswa akan lebih nyaman berada bersama guru dan lebih mudah menangkap tujuan pembelajaran yang dikemas guru. Selain itu, dengarkan dan hargai keinginan serta usaha siswa, beri apresiasi secukupnya agar mereka tak bosan mengerjakan apa yang guru perintahkan. Yang lain adalah jalin komunikasi di luar kegiatan belajar mengajar di kelas, bisa dengan siswa ketika ia di rumah maupun dengan orang tuanya. Tak lupa, jalin silaturahmi dengan rekan seprofesi untuk bertukar pikiran dan pengalaman yang dapat dijadikan bahan perbaikan dan pengembangan diri. Terakhir, jadilah guru yang seutuhnya dapat dijadikan teladan, yang nasihatnya bukan didengar karena statusnya sebagai ‘guru’ melainkan karena keteladanan dan konsistensi yang ditunjukkannya. Demikian, semoga kisah-kisahku bermanfaat.
28-5-12, di sekolah

No comments:

Post a Comment