Guru, sebuah profesi mulia. Lebih dari itu, menjadi
guru adalah bentuk pengabdian seluruh jiwa. Bagaimana tidak? Guru layaknya
sosok kedua setelah orang tua, yang membimbing dan mengarahkan manusia pada
jalan kebaikan hingga memiliki bekal cukup bagi kelangsungan hidupnya kelak dan
pengembangan dirinya bagi kemaslahatan umat.
Menjadi guru adalah cita-citaku. Sungguh. Cita-cita
ini terpatri dalam hatiku paling dalam sejak di bangku Sekolah Dasar. Memang,
cita-cita ini pun sempat berubah-ubah seiring bertambahnya usia, karena
berbagai keinginan selangit yang kerap dimiliki seorang ‘anak kecil’. Saat
beranjak dewasa, barulah keinginan kuat menjadi guru kembali muncul, karena
teringat akan jasa dan mulianya tugas mereka.
Setahun sudah aku menjalani pengabdian ini. Masih
belum ada apa-apanya, jika dibandingkan Bapak dan Ibu yang sudah belasan dan
puluhan tahun mengabdi. Tetapi setidaknya, aku telah mendapatkan pengalaman,
hikmah, dan kisah menarik khususnya bagi diriku sendiri, terutama saat
bercengkrama dengan para siswa. Berikut ini di antaranya.
Perhatian Kecilmu, Bermakna Besar Bagiku
Saat itu aku mendapat tugas menjadi guru kelas 2 di
sebuah SDIT. Karakteristik utama yang ku tangkap dari ‘anak-anak’ itu adalah
betapa hausnya mereka akan perhatian. Bahkan yang menurut orang dewasa
(sepertiku) sepele, ternyata mampu memberikan kesan mendalam bagi mereka.
Singkatnya, setiap hari aku membiasakan memberikan
latihan bagi para siswa, sebagai bagian kegiatan konfirmasi untuk mengukur
pemahaman siswa terhadap materi yang baru saja dipelajari, terutama saat
menjelang ulangan.
Terkadang karena banyaknya tugas yang harus aku
pikirkan sendiri (karena aku tak punya pendamping di kelas), latihan yang
dikerjakan siswa hanya ku lihat sekilas. Tak disangka, mereka selalu merengek
meminta latihannya dinilai. Ternyata, bukan sekedar besaran nilai yang mereka
harapkan, tapi bentuk penghargaanku sebagai guru terhadap latihan yang telah
mereka kerjakan. Dengan adanya nilai atau sekedar paraf dariku, mereka merasa
sang guru telah menghargai dan memberi perhatian.
Hari terus berlalu. Dan setiap hari itu aku selalu
berusaha menjadi lebih dekat dengan siswaku. Menyapa mereka dengan lembut,
mendatangi meja-meja mereka, bertanya kesulitan mereka, memanggil nama mereka
satu per satu, plus menggunakan kata ‘sayang’ untuk menunjukkan kasih sayang.
Suatu hari di hari sebelum perpisahanku dengan para siswa, seorang wali murid
bercerita panjang lebar tentang anak bungsunya –yang juga siswa di kelasku.
Sebuah kalimat mengejutkanku. Sang Ibu berkata, “Bu, Krisna senang sekali
dipanggil ‘sayang’ sama Ibu. Ia bilang sama saya dan minta saya untuk memanggil
dia ‘sayang’ juga, seperti kalau Ibu memanggilnya di kelas. Dia memang suka
diperlakukan lembut begitu Bu. Makanya dia senang dan ingat hal itu.”
Dalam hati aku terenyuh. Sebuah sapaan yang memang
sengaja ku gunakan untuk memunculkan kedekatan dan menunjukkan perhatianku pada
siswa-siswaku, ternyata bermakna lain bagi seorang siswa. Jelas aku tak pernah
berpikir sejauh itu. Dan jelas aku merasa senang karenanya. Itu berarti usahaku
‘sedikit’ berhasil untuk menimbulkan rasa nyaman pada para siswaku.
Menjalin Silaturahmi Membuatmu Dicintai
Masih tentang pengalamanku dengan seorang siswa dari
sekolah yang sama. Bedanya, kini aku tak lagi menjadi gurunya, bahkan tak lagi
mengajar di sekolah tersebut. Artinya, aku telah pindah tempat mengajar, dan
praktis tak pernah lagi bertatap muka dengannya.
Suatu hari seusai rapat mingguan bersama para guru,
ponselku berdering. Sebuah nomor tak dikenal muncul di sana. Perlahan kuangkat
panggilan tersebut. Ternyata Gadis, siswi terbaik di kelasku dulu.
Percakapan kami berlangsung cukup singkat, karena Ia
khawatir mengganggu aktifitasku. Subhanallah, betapa pengertiannya anakku itu.
Permbicaraan kami berkutat seputar kabarku dan kabarnya, berikut teman-temannya
di sekolah yang masih ataupun sudah tidak sekelas; tentang keadaan di
sekolahnya; atau malah tentang aktifitasku di sekolah baru.
Satu pelajaran yang sangat menyentuh hatiku adalah,
keinginan tulusnya untuk menghubungiku, seorang yang pernah sebentar saja
menjadi gurunya, serta menanyakan kabarku, dan memercayaiku untuk mendengar
ceritanya seputar kegiatan di sekolahnya. Intinya, Ia –walau atas saran
ibundanya– bersedia menjalin kembali silaturahmi denganku walau hanya sebentar
dan tanpa bertatap muka sekalipun. Dan hal ini dilakukannya sebanyak tiga kali,
tanpa pernah aku berkeinginan mendahului menghubunginya.
Kembali hatiku tersentuh selepas mengakhiri
pembicaraan dengannya. Telepon Gadis membuatku merefleksi diri; bahwa seorang
dewasa sepertiku, sering merasa malas, malu, dan masa bodoh terhadap
teman-temanku yang lama tak ku jumpai, apalagi guru-guruku. Jarang sekali aku
menyapa mereka, menanyakan kabarnya, kesibukannya, apalagi kesulitannya.
Jangankan mengunjungi rumahnya, menelepon pun aku sering enggan.
Semenjak itu, aku berusaha menjalin komunikasi singkat
dengan teman-teman lama atau saudara yang tinggal jauh dariku. Dampaknya, aku
mendapatkan banyak cinta, perhatian, dan semangat karena dapat berbagi kembali
dengan mereka yang aku sayangi.
Di Sisi Lain Kau Jauh Lebih Baik, Nak!
Kisah ini terjadi di sekolah baruku, sebuah SMPIT. Ya,
para siswaku kini para remaja tanggung, yang cenderung labil. Namun, keceriaan
mereka tetap membuatku iri, sekaligus mengingatkanku pada masa-masa indah
sekolahku dulu.
Seorang siswa yang dikenal rajin beribadah sunnah
namun memiliki hasil yang kurang baik dalam tes-tes kognitif, selalu menjadi
sorotan utama sekolahku. Maklum, sekolah baru dengan siswa yang masih sangat
sedikit membuatku dan rekan-rekan dapat mengawasi dan menasihati para siswa
dengan leluasa. Terkadang aku dibuat pusing oleh tingkahnya yang terlampau
dewasa dari usianya, tapi tak jarang aku senang akan semangat belajarnya saat
ku mengajar sekaligus tersentuh dengan perkataannya. Seperti yang berikut.
Suatu hari aku merasa lelah, Ia melihatku berkali-kali
menguap di siang hari. Kala itu aku tak dapat menahan rasa kantuk dan keinginan
untuk menguap. Tiba-tiba Ia berujar, “Miss, tadi sholat Subuhnya kesiangan ya?”
Aku kaget dan balik bertanya, “Memang kenapa?” Dia dengan enteng menjawab,
“Kata Pak Mahmud, kalau nguap terus, tandanya sholat Subuhnya
kesiangan.”
Aku tersenyum mendengar perkataannya. Tapi yang kurasa
sebaliknya, merasa sedih dan prihatin terhadap diri sendiri yang masih lalai
dalam menjalankan sholat. Ya, jujur kuakui terkadang aku tak mengerjakan sholat
di awal waktu.
Kalimat siswiku tadi membuatku sungguh malu dalam
hati. Aku lantas berpikir, bagaimana seandainya mereka tahu, sosok yang
seharusnya diteladani ini malah melakukan kelalaian dalam ibadahnya. Ah, aku
tak sanggup memikirkannya.
Renungan Bagimu, Guru
Kisahku di atas memang terlepas dari hiruk-pikuk
kegiatan belajar mengajar yang berinti pada transfer dan pengembangan ilmu
pengetahuan. Bukan juga tentang metode pembelajaran yang ku gunakan di kelas.
Melalui kisah tersebut –yang bersetting di sekolah– aku yakin ada makna lain
bagi pengembangan diri guru untuk lebih meningkatkan kualitas diri maupun
pengajarannya.
Saat mengajar, tetaplah edarkan pandangan pada seluruh
siswa, sebut nama mereka satu per satu, serta gunakan sapaan lembut yang mereka
sukai. Dengan cara ini, diharapkan siswa akan lebih nyaman berada bersama guru
dan lebih mudah menangkap tujuan pembelajaran yang dikemas guru. Selain itu,
dengarkan dan hargai keinginan serta usaha siswa, beri apresiasi secukupnya
agar mereka tak bosan mengerjakan apa yang guru perintahkan. Yang lain adalah
jalin komunikasi di luar kegiatan belajar mengajar di kelas, bisa dengan siswa
ketika ia di rumah maupun dengan orang tuanya. Tak lupa, jalin silaturahmi
dengan rekan seprofesi untuk bertukar pikiran dan pengalaman yang dapat
dijadikan bahan perbaikan dan pengembangan diri. Terakhir, jadilah guru yang
seutuhnya dapat dijadikan teladan, yang nasihatnya bukan didengar karena
statusnya sebagai ‘guru’ melainkan karena keteladanan dan konsistensi yang
ditunjukkannya. Demikian, semoga kisah-kisahku bermanfaat.
28-5-12, di sekolah
No comments:
Post a Comment