Tuesday 21 April 2015

Ini Ibu Mertuaku. Mana Mertuamu?

"Neng sudah yakin dengan Aa? Mau serius? Aa kan belum mapan."

Itulah pertanyaan serius pertama yang ditujukan oleh (wanita yang kini menjadi) Ibu Mertua saya saat kami pertama kali bertemu. Rasa tak karuan terang saja langsung berkecamuk dalam batin saya. Saat itu saya mengira-ngira apa maksud pertanyaan itu? Tak suka kah Ibu denganku? Tak setuju kah Ibu bila nanti anaknya menikah sebelum mencapai "kemapanan"? Atau itu merupakan sebuah tes untuk menguji keyakinanku untuk menjadikan anaknya sebagai pasangan hidupku kelak? Fiuuuh, semoga saja maksud dilontarkannya pertanyaan itu adalah baik, terutama menurut dan untuk saya.

Kecamuk pikiran yang tak karuan itu tak lantas menghalangiku untuk menjawab pertanyaan Ibu dengan mantap, "Ya, bu". Setelah itu barulah Ibu menjelaskan bahwa beliau ingin anaknya dapat "mapan" dan pada saatnya meminang seorang wanita dengan langkah yang pas, mantap, serta pantas. Ibu tak ingin anak dan menantunya nanti hidup susah setelah menikah. Huaaah, ternyata begituu maksud dari pertanyaan yang serius itu.

Begitulah Ibu Mertuaku, seorang wanita asal Kuningan, Jawa Barat. Sosok istri dan ibu yang mampu melakukan semua tugas kerumahtanggaan dan pekerjaan di luar rumah dengan sangat baik. Dan pastinya, ibu jago sekali masak.

Secara nama, usia dan fisik mirip dengan Mama, sehingga saya tak memiliki kesulitan yang berarti saat beradaptasi dengan Ibu. Sifat keibuan, lembut, kuat, teguh, sabar, dan penyayang nya pun mirip Mama. Ya pasti begitu, karena sejatinya setiap wanita terutama seorang Ibu memiliki sifat-sifat tersebut.
(Ki-ka) Bapak, Mama, Suami, Saya (ihiiyy), Ibu, Ayah

Dari cerita suamiku, anak laki-laki semata wayang Ibu dan Ayah, Ibu adalah sosok yang lembut namun tegas, sabar, pekerja keras, sederhana, ramah, dan sebagainya. Ibu rela melepas pekerjaannya saat harus ikut Ayah pindah ke kampung halaman, juga agar fokus merawat anaknya. Ibu sabar dan menerima keadaan keluarga yang sempat mengalami kesulitan finansial, namun Ibu tak hilang akal untuk memulai usaha bermodal keahlian yang dimilikinya, memasak. Ya, Ibu dan Ayah sejak beberapa tahun lalu hingga kini memiliki usaha warung nasi di rumah.

Di balik kesederhanaannya, Ibu selalu mementingkan pendidikan dan pembentukan karakter anaknya, walau tak pernah memaksakan kehendak yang berlebihan pada anaknya. Ibu biasakan anaknya sedari kecil untuk sholat, mengaji, menabung, bekerja keras, menerima konsekuensi atas pilihannya, taat pada aturan, dan lain sebagainya. Pola pendidikan Ibu inilah yang sering saya dengar dari cerita suami, bahkan dari Ibu sendiri. Cara mendidik Ibu pula lah yang saya niatkan untuk diterapkan pada anak saya nanti (Insya Allah bila Allah memberi amanah dan rejeki berupa anak yang sholeh & sholehah pada saya dan suami), Aamiin.

Misalnya, saat suamiku kecil berniat bolos sekolah, Ia akan bilang pada Ibu. Tanpa omelan, Ibu hanya menjawab, "Boleh gak sekolah, tapi gak boleh main di luar, ya." Akhirnya suamiku pun dengan sendirinya memilih tetap pergi ke sekolah, daripada gak boleh keluar rumah, hehe.

Atau saat suami kecil minta ikut ke pasar. Ibu akan berpesan kepadanya sebelum berangkat, "Boleh ikut, tapi jangan minta yang macam-macam ya di sana. Kalau minta sesuatu pun jangan nangis kencang." Suamiku menurut. Saat meminta sesuatu di pasar, Ia melakukannya tanpa menangis meraung-raung, karena telah sepakat dengan Ibu. Tak jarang Ibu tetap membelikan "jajan" untuk anak jagoan kesayangannya itu. Melalui cara inilah Ibu berhasil membentuk karakter suamiku untuk tidak seenaknya meminta sesuatu yang macam-macam pada Ibu dan Ayah.

Ibu juga membiasakan anaknya untuk berjuang dan bekerja keras demi mencapai keinginannya. Saat SMA, suamiku berkeinginan membeli sebuah handphone, namun Ibu tidak begitu saja mengabulkan keinginan anaknya dan mengajarkannya untuk menabung. Benar saja, suamiku saat itu tanpa mengeluh menabung demi mencapai keinginannya membeli sebuah hp. Mungkin Ibu terkesan tak sayang anak, namun justru itulah tanda sayang Ibu pada anaknya. Ibu ingin anaknya tak selalu mengandalkan orang tua, melainkan berusaha sendiri untuk mencapai tujuan dan keinginannya. Hingga dewasa, suamiku terbiasa untuk menabung, merencanakan mimpinya dengan baik, berusaha keras dan konsisten untuk mencapainya.

Selepas SMA, Ibu menginginkan anaknya melanjutkan belajar di perguruan tinggi, walau keluarga Ibu bukanlah keluarga berada. Ibu ingin agar anaknya berilmu, karena Ibu dan Ayah sadar bahwa mereka tak punya harta untuk diwariskan, sehingga mengusahakan anaknya mendapat ilmu sebanyak-banyaknya sebagai "warisan". Ibu pun ingin anaknya lebih maju, lebih baik darinya dan Ayah, sehingga kehidupannya (mudah-mudahan) juga lebih baik.

Kemudian setelah menikah, Ibu menganggapku sebagai anaknya sendiri yang diperlakukan dan diberi kasih sayang sama seperti anak lelakinya. Ibu tak pernah banyak menuntut agar menjadi begini, begitu, dan sebagainya. Ibu menyampaikan pesannya melalui cerita kisah hidupnya & keluarga, atau melalui candaan. Cerita Ibu selalu menginspirasi, semoga saya bisa menerapkannya kini dan suatu hari nanti.

Menyimak dan merasakan cara Ibu mendidik dan memperlakukan anaknya dengan begitu bijaksana, maka pantaslah bila kini suamiku "sukses" memiliki karakter dan jiwa yang kuat. Segala kebaikan dan kesuksesan suamiku berangkat dari didikan dan do'a Ibu. Terima kasih Ibu atas didikan dan nasihat baik untuk suamiku, hingga Ia mampu menjadi seperti sekarang ini dan atas do'a Ibu bagi suamiku, istri dan Insya Allah anak-anaknya kelak.

Semoga Allah selalu melindungi Ibu (dan Ayah) Mertuaku, memberinya kesehatan, memudahkan urusannya, menjadikan hidupnya penuh berkah. Aamiin.

Posting Serentak K3BKartinian

No comments:

Post a Comment